Oleh: meysanda | Januari 5, 2009

WAJAH-PADEK-MINGGU

Yulizal Yunus Datuk Rajo Bagindo

Akademisi Budaya Islam dan Minangkabau

Membuhul Agama, Negara, dan Nagari

YULIZAL-YUNUSApa jadinya, bila tidak ada tali yang menghubungkan, membuhul, dan merangkai kekuatan agama, adat, dan negara? Jawabannya pernah tersirat dalam sebuah karangan yang berkisah tentang seorang anak yang baik. Ceritanya begini. Kala itu, musim hujan. Jam pelajaran Bahasa Indonesia sudah habis. Tapi, hujan masih lebat. Anak-anak tidak bisa pulang. Daniar, ibu guru Bahasa Indonesia, berinisiatif mengisi waktu kosong itu dengan mengajak murid-muridnya membuat karangan bebas.

Salah satu karangan yang ditulis murid bu guru Daniar berjudul: “Anak yang Baik”. Karangan ini bercerita tentang seorang anak taat beragama, cinta pada adat, dan negaranya. Namun, ia selalu dijahati temannya. Setiap kali bermain atau sedang berdua di jalan pulang, teman jahatnya itu selalu ingin mengalahkannya dengan berjalan di depan. Kalau ada genangan lumpur, si jahat menendang air berlumpur itu ke hadapan si baik. Tapi, malang bagi si jahat, ia terjatuh ke dalam banda (sungai kecil) ketika mengusili si baik dan tak bisa keluar lagi. Si anak baik, tidak menaruh dendam. Ia justru iba melihat temannya itu terjerembab di dalam banda dan memmbantunya untuk keluar.

Ibu guru Daniar tak mampu menahan tawa ketika membaca akhir karangan itu: Lalu, nya ambilnya seutas tali. Nya masukkan ke dalam lubang. Nya ulurkannya ke temannya itu. Nya tarik nafasnya dalam-dalam. Nya tariknya temannya itu keluar dari banda. Dan ibu guru Daniar pun tentu tak akan kuasa menyembunyikan bangga, ketika berpuluh tahun kemudian, ia tahu, muridnya, Yulizal Yunus, sang pengarang “Anak yang Baik” itu telah menjadi “orang”. Si anak baik itu barangkali dirinya, yang ternyata sangat gemar mencatat saripati pengalaman empiris dan pertumbuhan intelektualnya sebagai anak bangsa, tokoh adat dan agama.

Yulizal Yunus (Yuyu) lahir di Tanjung Kandis, Taluk, Batangkapas, Pesisir Selatan, 7 Agustus 1955 dari ayah Muhammad Yunus bin Tara’an dan ibu Siti Zahara. Hidup dalam suasana keluarga yang taat beragama dan memiliki komitmen tegas dalam pewarisan nilai-nilai agama, negara, dan adat Minangkabau. Memangku gelar adat Datuak Rajo Bagindo di sukunya, Kampai.

Sekolah Dasar di SDN Pasa Taluak hingga kelas dua. Kelas tiga sampai kelas lima di SDN Tanjuang Kandih. Satu pengalaman berbekas ia alami ketika akan naik ke kelas 6. Kepala sekolah SDN Tanjuang Kandih, pak Tasar merekomendasikan Yulizal Yunus untuk tidak melanjutkan ke tingkat selanjutnya (kelas enam). Ini ia peroleh atas prestasi belajarnya yang pak Tasar yakin, bahwa ia sudah pantas mendapatkan prediket lulus pada tingkat sekolah dasar sekali pun hanya sampai di bangku kelas lima.

Hingga sekarang, Yuyu Sering merasa kagum terhadap sikap “berani” yang diambil oleh gurunya ketika itu. Tersirat keterbukaan, kepercayaan, dan kejujuran seorang guru terhadap kemampuan peserta didik. “Saya mengatakannya, itulah sampel guru yang mengerti anak. Kalau seorang guru tidak mengerti anak murid, saya sering mengusulkan lebih baik dia jadi polisi, tentara, atau satpam saja, karena lebih berbakat jadi pengawal atau pengatur,” tegas bang Yuyu—Ia selalu minta dipanggil begitu.

Pengalaman mendapat rekomendasi untuk tidak mengikuti pelajaran ke tingkat selanjutnya pun dialami ketika sudah duduk di bangku PGA empat tahun di Batang Kapas. Rekomendasi tersebut ia dapatkan lagi dari kepala sekolah Ramalus Syukur bersama dua orang temannya yang lain, yakni Ramanus dan Ali Amran. “Metode ini semacam ini sudah hilang dalam kegiatan belajar-mengajar di sekolah formal. Sekarang sukar membedakan antara sekolah dengan pabrik,” komentar penulis aktif di berbagai media ini.

Mekanisme memotivasi peserta didik boleh saja berubah. tapi substansinya, mutlak dipertahankan. Prinsip ini yang diusung Yuyu sepanjang menjabat Dekan Fakultas Ilmu Budaya-Adab (FIB-A) IAIN Imam Bonjol Padang (2003-2007). Di samping itu, ia juga Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Balaiselasa, Lektor Kepala dalam mata kuliah Sastra dan Kewiraan (Civic Education). Sebuah wujud pengabdian yang dilatari rasa hormat terhadap pendidikan dan pentingnya menuntut ilmu.

Waktu adalah harga yang mesti ia bayar untuk serangkaian kesibukan dan tanggungjawab tersebut. Inilah yang menjadi sebab Yuyu terbiasa dengan jadwal yang padat. Yuyu mengaku, peroses perkuliahannya meraih Sarjana Muda (gelar BA) di Fakulta Tarbiyah IAIN Imam Bonjol (Padang, 1977) sering tersita oleh “keasyikannya” menggelar kegiatan kreatif berbasis sastra, budaya, dan jurnalistik. Semuanya tetap terkelola dengan baik. Sarjana (Drs.) ia dapatkan dari FT-IAIN Imam Bonjol (Padang, 1983). Tak berhenti sampai di situ. Ia pun sudah menyelesaikan pendidikannya di Pascasarjana Unand pada Jurusan Pengembangan Wilayah Daerah (PWD) dengan judul Tesis: Akomodasi Nilai Agama dan Adat dalam Kebijakan Pembangunan Kawasan Pariwiata Pantai Mandeh Resort Pesisir Selatan.

Falsafah hidup Minnagkabau, malapeh sapanjang tali, mangaruak sahabih gauang, benar-benar menjadi landasan perjuangan hidupnya yang haus ilmu. Ini terlihat dari kiprahnya pada beberapa organisasi/profesi atau kegiatan keagamaan. ia tergabung dalam AP3TI (Asosiasi Peneliti dan Pengembangan Pendidikan Tinggi Indonesia) (Jakarta,1997 –sekarang), Pusat Penelitian IAIN Imam Bonjol, dosen tim peneliti (Padang,1996- sekarang), Pusat Pengabdian pada Masyarakat IAIN Imam Bonjol, dosen peneliti/ pembina desa pada Badan Pembina Desa, (1996 -2003), Redaktur Senior Ilmiah Majalah Ilmiah “Kajian Islam” (Padang, 1996–sekarang), Penanggung jawab majalah ilmiah: Tabuah (Taklimat Budaya Agama dan Humaniora) (Padang, 1997-sekarang), Penanggung jawab Jurnal Internasional adab wa fikr, (Indonesia-Malaysia, 2004), Redaksi Eksekutif Majalah Ilmiah Imam Bonjol (Padang,1996 – sekarang), HISKI (Himpunan Sarjana Kesusasteraan) Komda Sumbar ( Sekretaris, 1997- 2002), ICSB (Islamis Centre Sumatera Barat), Padang, Biro Penerbitan (1997 –sekarang), IAIN-IB Press (Penerbit) Direktur (Padang 1989 – sekarang), MPI (Majelis Pemuda Indonesia) Sumatera Barat (Padang, 2001-sekarang), Ketua Wira Karya Indonesia Sumatera Barat, Tim ahli bidang Budaya Pemerintahan Kabupaten Pesisir Selatan Sumatera Barat. Akan tetapi tetap saja, orientasi dari aktivitasnya merupakan wujud kegelisahannya dalam mengarifi fenomena agama, adat, dan negara.

Jabatan Lektor Kepala Bidang Sastra IAIN Imam Bonjol Padang, semakin mengukuhkan sosok seorang Yulizal Yunus sebagai seorang yang telah melewati pergulatan dan pergolakan yang menyisakan rekaman proses dan catatan yang tak berhingga harganya. Aktivitas yang dilaluinya sebagai akademisi di IAIN Imam Bonjol Padang disertai dan selalu siseterui oleh kegiatan-kegiatannya di luar kampus. Sehingga, dalam setiap ceramah, tulisan, atau dialog-dialognya pada banyak momentum menyiratkan betapa dirinya sedang mengusung pergolakan dan daftar-daftar pertanyaan yang belum terjawab. Terutama menyangkut tiga hal, Agama, Negara, dan Adat.

Beberapa jawaban yang telah dirumuskannya dari pergolakan dan pergulatan terhadap tiga elemen sentral tersebut pun masih menyiratkan ada “perihal” yang belum selesai, yakni aplikasi. Menurutnya, aplikasi nilai-nilai dan aturan-aturan yang berhulu pada Agama, Adat, dan Negara itu mengalir melalui kran-kran sistem yang disistribusikan kepada masyarakat.

Di tengah arus yang mengalirkan nilai-nilai dan aturan tersebut ada lorong-lorong yang mengalihkan pendistribusiannya. Ini hal aneh yang sering dipertanyakan Yulizal Yunus. Agama, adat, dan negara menurutnya malah lebih bersinergi di masa penjajahan (prakemerdekaan) di bandingkan dengan masa setelah kemerdekaan. Padahal, dalam budaya Minangkabau dikenal istilah tali tigo sapilin, yang memuat komitmen untuk menjalin dan merangkai ketiga elemen tesebut. [zelfeni wimra/abdullah khusairi]

Marjinalisasi yang Tidak Disadari

YULIZAL-YUNUS-FAIZTali tigo sapilin. Istilah ini boleh saja usang dan asing di indera pendengaran manusia modern. Tetapi, substansinya tetap menjiwai sistem yang melembaga di segenap elemen sosial-budaya. Bagi Yuyu, ini bagian dari penggalian kecerdasan Minangkabau (local genius).

“Belanda saja, sangat mengagungkan adat. Instrumen adat diberi tempat dan diolah sedemikian rupa untuk kebutuhan kolonialisme. Sekarang coba amati, apakah sistem yang kita pakai sudah memberi tempat yang kondusif untuk itu?” Yuyu kemudian mengemukakan beberapa kasus yang melatari terjadi perang Paderi di Minangkabau. Prinsip dasar agama, adat, dan negara teralih dari sasarannya.

Yuyu menambahkan, Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah (ABS-BSK) adalah tali penghubung dan pembuhul dimaksud. Bagaimana bisa berperilaku seperti ABS-SBK, kalau instrumen pemerintah yang mengawal peredarannya gagal memberi arahan. Akibatnya, nilai-nilai tidak jalan. Ninik mamak tidak berfungsi. ketek tidak lagi jadi anak, gadang tidak lagi jadi kemanakan, dan tuo tidak lagi jadi jadi mamak.

“Bukan berarti orang Minang bodoh. Orang Minang makin Pintar. Tapi tak bisa masuk dan mengendalikan sistem,” ujarnya. Terhadap beberapa forum yang menggugat dan mempertanyakan kembali keabsahan dan fungsi sosial ABS-SBK, Yuyu tidak setuju dengan pendapat yang mengatakan, bahwa adat Miang itu sudah berubah.

“Yang berubah adalah perilaku individu atau masyarakat adat. Itulah budaya. Adat dan tatanan nilai-nilainya tidak pernah berubah,” tegasnya. Ia juga menawarkan bagaimana di tengah jalinan fungsi adat, agama dan negara yang tidak “beres” tersebut ada tawaran sistem yang solutif. Yuyu memberi contoh kasus: Unsur pemilihan dan unsur yang dipilih Perda Nomor 9 1999 merugikan masyarakat adat.. Fungsi kemanakan dan mamak lebur dalam kebijakan tersebut. Hal inilah yang mengundang konflik. Akibatnya, Kerapatan Adat Nagari runtuh dari fungsi sebenarnya. Wibawa forum-forum adat kehilangan daya. Dalam kondisi seperti ini, menurut Yuyu, pemerintah sudah menciderai adatnya sendiri.

Semangat adat dan kebanggaan beridentitas adat melemah dan bahkan ada menjurus kepada ajang konflik. Banyak kemenakan yang tidak mengerti lagi konstruksi nilai bermamak. Ada urang suamndo yang tidak tahu kalau dirinya telah mengambil alih fungsi mamak. Yang tak kalah fatalnya, ada pemuka adat, agama dan negara bersitegang menyoal tanah ulayat yang dijadikan hutan lindung itu milik siapa?

“Adat dan agama sudah dijalin dengan ABS-SBK. Kalau ada yang beralih adari prinsip dasarnya berarti itu perilaku. Yang sedang tidak berbentuk itu adalah jalinan antara adat dan negara,” tambahnya. Pengamatan Yuyu menemukan sistem yang melembagakan adat dan negara merujuk kepada visi globalisai yang seringkali tidak mengutamakan “nurani” adat. Tampilan (image) Masyarakat adat dalam perspektif globalisasi adalah masyarakat yang terbelakang dan tertindas. Pandangan ini, menurut Yuyu menstimulasi rasa minder, budaya tertutup, hingga akhirnya benar-benar menjadi terbelakang.

“Ada misslink antara pemerintah dan masyarakat adat. Juga ada masjinalisasi yang tidak disadari,” imbunya. Akan lebih parah menurutnya, andaikata kekuatan agama juga ingin tampil di depan dengan cara yang menurut kecerdasan budaya dan negara tidak positif. Akan terjadi saling mendahului. Persaingan yang tidak membangun.

Akhirnya, bertemu juga titik orientasi dari pergulatan dan pergolakan lahir batin seorang Yulizal Yunus. Muaranya pada tiga titik sentral: Agama, Adat, dan Negara. Disadarinya atau tidak, kisah masa kecil ketika ia menulis karangan berjudul “Anak yang baik” telah menuntunya pada satu arah dan kecenderungan yakni mencari tali dan mengulurkan pada temannya yang sedang terjerembab dalam banda. Sekalipun temannya itu sering menjahatinya sepanjang jalan pulang. [zelfeni wimra/abdullah khusairi]

Gerbang Baru Pariwisata Minangkabau

Lebih dari Sekedar

Selamat Datang

Apa pula jadinya, andaikata seorang wisatawan yang berkunjung ke salah satu objek wisata ranah Minang diwajibkan memakai pakaian adat dan ikut ke dalam prosesi atau ritual adat?

Yulizal yunus Menjawab: “Ini tidak Mustahil! Justru ini yang harus secepatnya menjadi jiwa peraturan kepariwisataan Sumatera Barat. Dalam konteks ini kita mesti belajar ke Bali.”

Yuyu mengemukakan diskursus seputar pariwisata Minangkabau yang acapkali mengemuka. Ketika ada yang pariwisata disebut, maka ada maksiat dalam kepala. Ada hotel mewah dan pasangan ilegal yang berbuat mesum semaunya. Ada Turis-turis yang bertelanjang-telanjang di pantai dan sepanjang jalan. Padahal tidak selalu begitu.

Ada lagi, mengenai anggapan tentang orang Minang yang tidak pandai berterimakasih dan adat budaya Minang tidak mengenal kata selamat datang. Bagaimana akan menghidupkan dunia pariwisata kalau masyarakatnya tidak menghormati orang yang datang? Kamus bahasa Minang tidak memiliki kedua kata itu: terimakasih dan selamat datang.

Bagi Yuyu, fenomena persilangan pendapat dalam budaya Minang tetap menjadi khazanah yang patut diapresiasi. Tanpa persilangan kayu, tak mungkin api akan menyala. Begitu filosofinya. Bahasa verbal dalam budaya Minang tak cukup untuk mengekspresikan suasana hati. Ungkapan terima kasih barangkali menurutnya tersublim dari ungkapan: naiak batang dapek tindawan, naiak rumah dapek aie. Sedangkan selamat datang merahasia dalam ungkapan: kok kurang laweh talapak tangan, jo niru kami tampung. Kearifan lokal sejenis ini, bagi Yuyu tak berhingga nilainya dan sangat petensial sebagai penyempurna mata rantai keparwisataan.

Dalam Tesisnya yang berjudul: Akomodasi Nilai Agama dan Adat dalam Kebijakan Pembangunan Kawasan Pariwisata Pantai Mandeh Resort Pesisir Selatan, Yuyu mengupas tuntas wacana ini. Dikemukakannya, pariwisata dalam agama Islam sejiwa dengan makna yang tersirat dalam proses Hijrah, berpindah. Didalamnya ada Taffarajul Hammi (Refreshing/Pariwisata); Iqtisha (bisnis); al-ulum (menambah pengetahuan dengan pengalaman yang belum pernah dirasakan/ experience); dan Shubhatul Majdid (relasi/mitra dialog yangbaru). Sementara adat Minang punya falsafah: Jauah bajalan banyak basuo, lamo iduik banyak dirasai. Kemudian, instrumen adat seperti dangau, lapau, surau, merupakan ranah publik yang mempesona.

Tidak akan terbantahkan bahwa nilai-nilai kepariwisataan sudah ada, baik dalam adat maupun agama. Bahkan aktivitas yang lahir dari akulturasi adat dan agama seperti balimau, bainai, tabuik, melihat hilal oleh aliran tarekat satari, Manjalang Mintuo, turun mandi dan sebagainmya.

Kesulitan, menurut Yuyu justru akan dirasakan ketika tabir kesadaran antara stakeholders yang ada tidak menemukan format yang menjalin? Pemuka-pemuka yang berkompeten justru yang tidak mau masuk ke dalam sistem dan mengambil peran. Oknum yang sedang berada di dalam sistem, justru saling mendahului dalam perebutan pengaruh. Perda kepariwisataan yang menembus ruang agama dan adat tanpa dialog yang komunikatif, cepat atau lambat akan menghilangkan fungsi sosial agama atau dat itu sendiri. [zelfeni wimra/abdullah khusairi]

CURRICULUM VITAE

N a m a : Drs. Yulizal Yunus Dt. Rajo Bagindo
Jabatan : Lektor Kepala pada m.k.Sastra/ Dekan Fakultas Ilmu Budaya-
Adab (FIB-A) IAIN Imam Bonjol Padang
Tempat/ tgl.lahir : Tanjung Kandis,
Taluk, Batangkapas, Pesisir Selatan, 7 Agustus 1955
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl.Sitawa 15 Rt.45/Rw.03 Parupuk Tabing,
Koto Tangah, Padang, 25171
email. yy_dt@yahoo.com
webblog. www.wawasanislam.wordpress.com
Pendidikan terakhir : Pasca Sarjana Unand Padang, Jurusan Pengembangan Wilayah Daerah (PWD)
Bidang keahlian : Sastra dan Kewiraan (Civic Edukation)

Pengalaman pendidikan :
1. SDN, Tj.Kandis, Tahun 1969
2. PGA 4 Tahun, Anakan, Tahun 1972
3. PGAN 6 Tahun, Salido, Tahun 1974
4. Sarjana Muda (gelar BA) FT-IAIN Imam Bonjol, Padang, Tahun 1977
5. Sarjana (Drs.) FT-IAIN Imam Bonjol, Padang, Tahun 1983
6. Pasca Sarjana Unand Padang, 2004

Pengalaman Pendidikan Tambahan/ Kursus/ Pelatihan:
1. Pendidikan Politik Kader Bangsa, SOKSI, Medan, Tahun l981
2. Pelatihan Penelitian dan penulisan ilmiah, LIPI, Jakarta, 1981
3. Pendidikan Politik Kader Bangsa Tingkat Handal/ Orpadnas, Lemhannas-LAN-SOKSI, Jakarta, 1986
4. Pelatihan Penelitian Agama (PPA), Depag RI – LIPI, Jakarta, 1994
5. Pendidikan Dosen Kewiraan, Lemhannas, Jakarta, 1997.
6. Penataran Ancangan Aplikasi dan SAP, Universitas Indonesia, Jakarta, 1997
7. Pelatihan Penelitian Profesional, Jarlit se Sumatera, Padang, 2001
Pengalaman organisasi profesi/ keagamaan/ kemasyarakatan:
1. AP3TI (Asosiasi Peneliti dan Pengembangan Pendidikan Tinggi Indonesia) Jakarta, anggota, sejak 1997
2. Pusat Penelitian IAIN Imam Bonjol, anggota sejak 1996.
3. Pemimpin Ilmiah Majalah Ilmiah “Al-Turas”, 1996
4. Redaksi Eksekutif Majalah Ilmiah Imam Bonjol, 1996
5. Ketua STAI (Sekolah Tinggi Agama Islam) Balaiselasa, sejak 1996
6. HISKI (Himpunan Sarjana Kesusasteraan) Komda Sumbar, Sekretaris, 1997
7. ICSB (Islamis Centre Sumatera Barat), Padang, Biro Penerbitan, 1997
8. IAIN-IB Press (Penerbit), Direktur, 1989
9. Pembantu Dekan III Fakultas Adab (Sastra) IAIN Imam Bonjol, 1999
10. MPI (Majelis Pemuda Indonesia) Sumatera Barat, Sekretaris, 2001
Karya Tulis (Buku/ Hasil Penelitian/ Makalah/ Artikel)
Karya tulis dalam bentuk artikel publikasi koran dan majalah telah dimulai sejak awal bekerja di salah satu harian di Padang tahun 1976, 571 topik. Menulis buku sudah dimulai sejak tahun 1981, sudah mempunyai 27 buku dicetak. Karya penelitian mulai intensif pasca penataran LIPI tahun 1981 sampai sekarng sudah ada 22 buku karya penelitian. Di antaranya:
1. Islam di Gerbang Selatan Sumbar (buku) cet.I/1998.
2. Sosialisasi di Perkampungan Wisata Padang (buku Penelitian) 1998.
3. Wanita dan Sastra (Analisa Novel Wanita di Titik Nol), makalah, Semianr Fakultas Adab, 1998.
4. Sejarah STAI Balaiselasa, 25 Tahun (buku) Cet.I/1998.
5. Sosialisasi Islam di Pasaman, Desa Binaan IAIN (Buku Penelitian) 1998.
6. Bahasa Jurnalistik (Naskah buku) belum terbit/ 1998.
7. Paham Keagamaan Keliru di Sumbar dan Analisa Nazam Kanak Kanak dan Nabi Bercukur (Buku Penelitian), 1999.
8. Motivasi Keagama dalam Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat di Bungus (Buku Penelitian) 1999.
9. Sentra Tarekat di Sumatera Barat (Buku Penelitian) 1999
10. Sastra dan Sejarah (Makalah Seminar Sastra) Fakultas Adab/ 1999.
11. Teknik Menggubah Puisi Cara Arab (Makalah Seminar Sastra) Studio Sastra/ 1999.
12. Teknik Menyunting (Naskah Buku) belum terbit/1999.
13. Teknik Wawancara (Naskah buku) belum terbit/ 1999.
14. Pulau Cingkuk Saksi Perjuangan Anak Pesisir (buku/ 1991) cet. III/ 1999.
15. Sastra Islam, Analisa Syair Apologetik Syeikh Muhammad Dalil (buku pen.)Cet.I/ 1999.
16. Perkembangan Terakhir Sastra di 15 Negara Arab (Buku) Cet.I/1999.
17. Objek Wisata Kawasan Mandeh Mandeh (Buku) Cet.I/1998, cet.II/1999, cet.III/ 2000
18. Geo Pengajaran Sastra Arab di Indonesia (buku) Cet.I/1999, Cet.II/2000.
19. Angkatan ’98, Antologi Puisi (buku) cet.I/1999, cet.II/2000.
20. Objek Wisata Kawasan Mandeh (buku) Cet.I/2000.
21. Sejarah Pss. Selatan dari Sandiwara Bt. kapas hingga Perang Bayang (buku)Cet.I/ 2000.
22. Mencari Hari Jadi Pesisir Selatan (Makalah Seminar Hari Jadi Pss. Selatan, 12 Jan 2000.
23. Irak-Kuwait dalam Syi’r (Buku Kumpulan Syair), 2000.
24. Master/ Action Plan Pesisir Selatan 2001-2010 (Buku), 2001
25. Pesisir Selatan, Kinerja 1995 – 2000 (Buku), 2001
26. Protes Sastra terhadap Paham Keagamaan (Buku), 2001
27. Puisi Mahasiswa Genre Occasional Poetry (Buku), 2001
28. Paket Budaya Perkawinan Pesisir Selatan (Pemda Pessel, 2002)
29. Al-Qashash al-Islamiyah fi Tatsqif Syakhshiyat al-Athfal (IAIN-IB Press, 2002).
30. Kesultanan Indrapura dan Mandeh Rubiyah di Lunang, Spirit Sejarah dari kerajaan Bahari sampai Semangat Malayu Dunia (Pemkab Pesisir Selatan – IAIN IB Press, 2002).


Tanggapan

  1. Assalamualaikum Warhmullahi Wabarakatuh

    Salam kenal dari saya di http://oyonk.com

    Perkenankanlah saya untuk memperkenalkan blog saya yang baru yang sampai sekarang masih sepi pengunjung.

    Saya sangat berharap melalui blog ini bias mendapatkan sedikit limpahan pengunjung yang tertairk dengan artikel-artikel islam yang ditulis oleh seorang pengamat sosial keagamaan Sumatera Barat ( Martias Oyonk )

    Demikian. Saya sampaikan terimakasih sebelumnya
    Semoga menjadi ibadah dan amal saleh bagi pengelola.
    Amin

    Wassalam


Tinggalkan komentar

Kategori