Oleh: meysanda | Juni 11, 2008

MELINTAS BATAS PIKIRAN

Dunia Ujung Jari
[Seboeah Pikiran Sadja]

HALTE-HI-MELINTASDulu surat cinta, kini dunia maya. Dulu puisi dalam laci, antri di meja redaksi, kini tak lagi. Posting saja segera. Siapa saja dapat membaca. Kini, dengan teknologi, semua bisa didapat. Ilmu baik, ilmu buruk. Peradaban ini makin canggih saja. Perlu apresiasi positif agar generasi ini tak basi.

Dulu surat cinta, kini surat maya. keduanya bisa love fair bahkan erotis jadi pornografis. hanya kontrol nilai dan etika bisa jadi kendali pleasure dan erotika.

Dunia maya adalah peradaban baru. Media kreatif tanpa batas. Ruang komunikasi tanpa tim redaksi. Privat tapi mendunia. Online dimana saja. Ini peradaban yang mesti disikapi secara positif. Jika tidak, teknologi ini hanya jadi ancaman saja. Agaknya, dampak negatif bisa diminimalisir ketika ia menjadi ruang kreatif intelektual untuk generasi abad ini.

Alinia kedua adalah jawaban pesan pendek (sandek) dari Drs Yulizal Yunus ketika saya kirim alinia pertama. Sedangkan alinia ketiga adalah sandek saya ke Dr H Shofwan Karim Elha MA.

“Hebat benar prolognya.” Begitu balas pak Shofwan. Saya tahu benar, tokoh satu ini sangat sibuk untuk membalas ulang seperti apa yang dipikirkannya. Karena memang saya mengenalnya seorang tenaga pengajar dalam mata kuliah pembaharuan, pemikiran modern dalam Islam. Maka saya maklum saja. Tapi kebutuhan singkat persiapan sebagai pancingan apa yang mesti disampaikan dalam temu blogger tersebut terjawab sudah. Alhamdulillah.

Ini terjadi hari minggu menjelang acara Temu Blogger Padang, 8 Juni 2008, pukul 10.00 WIB. Kebetulan dinobatkan jadi moderator dalam acara tersebut oleh Ketua Blogger Padang, Maryulis Max.

Saya tidak hendak menyampaikan bagaimana acara berlangsung sukses karena sudah diposting di banyak blog oleh teman-teman. Namun jauh dari situ, mengacu pada judul di atas, saya punya pikiran, betapa dunia kita sudah di ujung jari semuanya. Pencet sana pencet sini, pekerjaan selesai. Digitalisasi yang ditemukan teknokrat handal di dunia telah merubah peradaban manual di millenium ini menjadi serba digital.

Melihat dan menikmati teknologi yang ada saat ini, sepertinya kita tak hendak lagi diajak berspiritualitas. Dimana kebutuhan jasmani dan rohani seakan-akan ada di ujung jari kita. Apa benar begitu? Sehingga betapa arogannya manusia dalam hidupnya. Sepertinya tak perlu ada kekuasaan di luar dirinya.

Ini sempat terpikirkan CEO Jawa Pos, Dahlan Iskan. “Saya jadi berpikir dan diskusi lagi dengan diri sendiri. Saat kematian ternyata bisa diajukan atau dimundurkan walau hanya sesaat. Bagi yang paham ayat Al Kitab mengenai kematian (idza jaa-a ajal luhum…) tentu satu pekerjaan tersendiri untuk mendiskusikannya. Terutama apakah yang dimaksud dengan ajal di situ. [baca: Dahlan Iskan, Ganti Hati, 2007].

Transplansi masih barang baru dan sebentar lagi sampai di sekitar kita. Murah meriah seperti layaknya kita menikmati komputer dan seluler saat ini. Dulu barang mahal dan langka, hanya untuk orang kaya.

Kembali ke persoalan spritualitas, betapa pun kita mendustainya, kita akan tetap mengakui dengan cara apa pun. Bahwa ada kekuatan di luar diri. Kekuatan itu absolut. Ini pengakuan yang dibutuhkan jiwa. Inilah sebenarnya fitrah manusia untuk beragama dan ada Sang Pencipta.

Apakah kemudahan dengan dunia ujung jari ini bisa membuat orang lupa tuhan? Bagaimana tenaga listrik tiba-tiba kolap di atas dunia ini? Mampukah manusia-manusia yang terlanjur hidup di ujung jari kembali ke masa klasik. Manual dan alamiah? Artinya, tenaga digital bertauhid kepada tenaga listrik. Inilah masalahnya.

Entahlah, yang jelas, ini ketakutan atas kemajuan teknologi seperti yang dikatakan oleh Yulizal Yunus tentang kebebasan dan keterbukaan globalisasi yang masih sangat membutuh nilai-nilai berkehidupan. Di situlah ada nilai spritualitas tersebut.

Tentang ini, saya maki sepakat dengan Karen Amstrong ketika ia menuliskan semua pemikirannya di dalam buku Sejarah Tuhan. Tuhan setiap generasi ummat manusia memiliki pola pemahaman tersendiri. Dimana, manusia membutuhkan pengakuan atas kekuatan di luar dirinya.

“Apa pun alasannya, teknologi adalah alat bantu. Hasil dari akal manusia yang memikirkan alamnya. Persoalannya, akal membutuhkan jiwa. Akal berada pada jiwa, sedang otak berada pada raga keduanya terbangun satu. Kini, keseimbangan makin dibutuhkan. Ketika modernitas terasa gagap dengan rasio tanpa menyetubuhi kebutuhan jiwa,” kata seorang teman tiba-tiba mengingatkan.

“Ideologi dan teologi merupakan sikap hidup di zaman mana pun. Kalau itu tidak ada lagi, maka seseorang sama saja dengan sampah di dunia ini!” ia seperti marah pada keadaan yang ada. Ia menceritakan banyak hal di balik berita-berita dan rekayasa atas nama kekuasaan.

“Semua telah dijual dan digadai dalam format kekuasaan. Mengalih isu dan menebar kesucian, padahal kebobrokan itu makin keropos saja,” ia seperti menemukan jalan pikiran sendiri. Ia mengajak saya belajar membaca di balik semua yang menjadi fakta-fakta. Sesuatu yang ternyata sangat melacurkan harga diri dan martabat kemanusiaan. [Abdullah Khusairi]

Nb: Thanks to Communicator 9300


Tanggapan

  1. Sepakat, peradaban baru dunia maya. cuma kita perlu juga mewaspadai apa yang disebut oleh Mark Slouka sebagai “Ruang Yang Hilang”. Ruang itu adalah ruang nyata di mana pertemuan membutuhkan komunikasi tatap muka, melihat langsung gesture (gerak tubuh), bahkan menyampaikan ekspresi lansung semisal tertawa geli seraya mencubit pipi, atau artikulasi kesal dengan satu kepal tinjuan di mata kiri.

    Saya masih ingat ketika Padang ini masih primitif. Telepon Seluler adalah mimpi. Anak-anak hanya bisa membuat replikanya dari gabus yang ditusuk dengan lidi pengganti antena.

    Saling kunjung adalah kemewahan terdahsyat. Baik untuk berbagi rindu, membagi makian atau semata bertengkar.

    Era Cyber merupakan berkah kecerdasan otak manusia. Bila masanya saya tidak punya Pulsa, kawan2 mengucapkan tahni’ah, saya tak sanggup membalasnya apalagi jika kawan2 melontarkan makian.

    Intinya dunia maya dimanfaatkan sepuas-puasnya, tetapi sediakan juga waktu untuk bersua-sua di alam nyata. Minimal agar kapitalisme tidak menjadi “raja segala apa”.

    wassalam
    Buya Muhammmad Nasir As Salwy, S.S.

    mokasih buya. salam saya ke Mark Slouka. buya digital makin banyak saja sekarang ya… awas jangan bukan situs porno. Pak menteri and the gank terus mengawasi tuh.

  2. Kadang dunia maya melenakan jiwa, dibuai mimpi2 yang tak tahu hendak dibawa kemana, hanya iman yang mampu pagari itu semua,….

    Aduhai. Jadi ingat Maia. Semoga dunianya mengasyikkan lagi bagi Dhani. Kita cukup dengan dunia maya. Thank telah berkunjung…

  3. h9hihihihii… bang cha ndak tau kalau bang acap buat surat cinta hehehehe

    he he he… masa remaja dulu. waktu kayak Cha. Wah, bulan bintang jangkrik lilin masuk semua pada kertas harum. Waktu itu seh, belum ada SMS. Juga masih pake wartel antrian, daftar dulu siang, malem baru boleh nelepon sama orang wartel. Yee… maklum teknologi masih mahal waktu itu… wah masa remaja, indahnya….. Ambil positifnya, bisa mnulis sekarang… he he he..


Tinggalkan Balasan ke avartara Batalkan balasan

Kategori