Oleh: meysanda | Mei 31, 2007

CERPEN

ENTAH LEHER SIAPA LAGI
Cerpen Abdullah Khusairi

”Tikam saja,” ucap laki-laki yang memikul dendam. Malam sudah memabukkan mereka dalam gulita yang beriringan dengan denting gitar. ”Bakar saja,” jawab yang lain, dengan api yang keluar dari mulutnya. Belasan pemuda yang duduk di tengah remang di persimpangan yang kelam mengelilingi botol-botol menebar bau yang menyengat hidung. Berderik-derik bunyi kulit kacang dibuka. Bayu berhembus. Dingin.

Di dada mereka ada frustrasi, marah dan putus asa menghadapi realitas yang semakin kejam. Hidup terpaksa jahat setelah keadaan mengepung. Menjadi pengangguran bukanlah kehendak, tetapi hidup tak mungkin untuk ditangisi. Mau apa lagi, ketika orang-orang kota membawa robot-robot menggerus tanah mereka. Satu sisi mereka memang tak menyadari, tetapi pada waktu yang lain, ada kekesalan yang menghujam hulu hati. ”Buat apa peduli, mereka culas,” suaranya bukan yang tadi, tapi entah dari mulut pemuda yang mana. Malam makin sunyi, derik kulit kacang masih terdengar. Lagu-lagu dan denting gitar tak sehebat beberapa saat sebelumnya. Sudah ada yang terkapar ditampar alkohol yang mereka reguk berulang-ulang. Namun masih banyak asap rokok yang berterbangan dari merah menyala dalam gelap. Menari-nari dibawa tangan-tangan mereka.

*

Perusahaan minyak yang mulai beroperasi di desa mereka dengan keangkuhan. Orang desa hanya melihat, menonton dengan kekosongan. Berulangkali mereka menemui pimpinan untuk meminta sedikit kesempatan bekerja, tetapi jawabannya hanya basa-basi. Basa dan basi. Pendekatan pemimpin perusahaan, kepada pemuka masyarakat hanya membuka kesempatan bagi anak-anak pejabat desa setempat. Tentu saja aparat desa kecipratan rezeki dari operasi penambangan itu. Sementara yang kosong makin kosong. Tak ada pekerjaan setelah putus sekolah. Setiap hari hanya bisa melihat dari dekat, menghirup debu truk yang lewat. Tak lebih. Sedangkan untuk bekerja di sana, mereka tak punya ijazah, tak punya pengalaman kerja. Haruskah cuma bisa melihat saja ketika orang lain bersama-sama menggali tanah mereka? Lama-lama di dada tumbuh frustrasi, patah, benci, marah, putus asa dan entah apalagi. Kenyataan semakin kejam dan tak teratasi. Sampai perusahaan berhasil menggali ratusan barel per hari minyak mentah yang membuat gua di bawah desa mereka, mereka tak mendapat apa-apa. Kosong dan melompong. Sesekali gemertak api di dada keluar membakar hari-hari yang terlewati. Ada ban truck yang disayat, kompresor yang hilang, sampai neon yang sedang menyala raib tengah malam. Sebuah teror dalam kekalahan. Apa mereka salah? Tidak, mereka hanya menangisi nasib dengan cara mereka. Kesempatan kerja di ladang mereka, kini telah diisi orang lain, asing dan angkuh. Di tanah mereka, mereka hanya bisa menjadi penonton. Jadi warga kelas dua dua di tanah sendiri tak ada yang mau menerima. Ya, dendam di dada seperti benar dan harus adanya.

*

Sebelah malam yang pekat, hujat lebat memandikan bumi. Lelaki bersebo memasuki base camp dari arah tebing sungai. Mengelak pagar-pagar sepanjang jalan dan gerbang. Hanya menyelinap dari sungai itulah jalan yang bisa menembus base camp tanpa diketahui siapa pun juga. Biasanya ada lampu-lampu menerangi, tapi malam ini, kelam pekat bersama hujan. Lampu mati. Kilat berdenyas setiap menit. Terang sekejap memberi jalan. Halilintar mengantar gema dendam, berdentam-dentum menyaingi air yang melumat bumi. Lelaki serba hitam itu menyelinap ke kediaman Tuan Frans, pimpinan cabang perusahaan pengeboran minyak yang selalu datang ketika pemberian gaji tiba. Tanggal muda yang membuat karyawan perusahaan berpoya-poya di pusat desa, pasar dan terminal yang sumpek dengan alkohol dan perempuan nakal. Di dalam kamar, Tuan Frans sedang asyik bergumul entah dengan siapa. Lelaki bersebo membuka pintu yang tertutup rapi dengan sebuah kunci. Tak perlu banyak waktu ia telah sampai di kamar yang remang beraroma birahi. Dengan seksama ia melangkah dari pintu kamar menuju pembaringan yang bergetar, berdenyit-denyit. Ketika Tuan Frans mendongak kepala dalam pencapaian kenikmatannya, sekali ayun saja golok mengkilap ke leher Tuan Frans. Krak, bunyi tulang patah, serr…, darah seperti air mancur dari leher Tuan Frans. Dup, dup…, suara kepala yang tergeletak terhempas dengan mata yang membelalak. Malam makin mengerikan. Hujan bertambah lebat. Air yang jatuh ke atap mengabur semua suara yang ada di dalam kamar. Ada pekik wanita yang tertahan di balik selimut tebal, di balik badan Tuan Frans. Ia meloncat, mendorong badan Tuan Frans yang mulai bermandi darah. Tubuh putih mulus itu langsung memeluk lelaki yang masih memegang erat golok yang sudah melelehkan darah. Hanya hitungan detik, gadis bertato kupu-kupu di belahannya dada itu bergegas memakai pakaian. Tak banyak bicara, keduanya langsung keluar kamar, menerobos malam yang kiat pekat, hujat yang kiat lebat. Keduanya ditelan kegelapan. Mereka entah siapa. Entah kemana.

*

Pagi itu, base camp heboh, Tuan Frans tewas mengenaskan. Kasur berlumur darah, ada tetes air seni dan bra tergeletak di kasur. Polisi sibuk mengamankan barang bukti, koresponden daerah koran lokal asyik mempotret. Rumah di tengah base camp yang teduh oleh pohon-pohon durian menjulang itu dikelilingi police line. Jejak-jejak dan tetes darah diikuti. Tapi mereka tak mendapatkan apa.Tak banyak yang mau bicara. Polisi kesulitan mencium jejak. Jejak terputus, saksi mata nihil, Satpam diminta keterangan, diperiksa intensif. Operasi intelijen pun mulai. Mulai masuk desa yang tak jauh dari base camp. Namun desa itu diam.Orang-orang tak banyak yang peduli. Ibu-ibu petani di sawah dekat base camp hanya berani melihat-lihat dari jauh. Mereka takut, heran bercampur-campur. Ingin tahu, tapi tak bisa mendekat. Polisi bisa curiga dengan siapa saja. Hati ibu-ibu itu kecut. Ditambah lagi deru dua helikopter melintas di atas sawah-sawah ibu-ibu petani yang sedang di dalam lumpur. Anak-anak pulang sekolah berlarian mendekat pagar helipad. Sebatas pagar saja anak-anak bisa melihat dari dekat capung besi itu. Mereka melihat orang-orang berkaca mata hitam turun serentak. Kesigapan yang terlatih menuju kantor perusahaan. Tak lama, mereka langsung mengevakuasi mayat Tuan Frans. Dibawa terbang oleh capung besi itu menghilang di telan rimbun pohon. Sayup-sayup deru itu hilang. Percakapan yang khas antara ibu-ibu kini terdengar, tapi mereka hanya berbahasa atas nama kesahajaan. Tak mau dan tak perlu tahu lebih jauh apa sebenarnya yang terjadi di balik itu semua. Sementara di jalanan, sibuk lalu lalang pejabat desa, polisi dan orang-orang penting. Kenderaan ramai, mereka dari kota mulai berdatangan. Mulai dari yang berkepentingan, sampai yang hanya sekedar ingin tahu. Tetapi, tak ada keterangan resmi. Riuh kabar kematian itu meluas ke desa-desa, kecamatan, kabupaten, provinsi dan seterusnya. Televisi dan koran tak ketinggalan menyebarkan informasi berharga bersama dengan bumbu agar lebih nikmat disampaikan. Desa yang sebelumnya tak banyak dikenal dalam sekejap menjadi terkenal. ***Sampai malam ketiga dari kejadian menggemparkan desa, desa dengan kandungan minyak mentah itu seperti mati. Malamnya tak lagi ada suara anak muda bergitar ria mengisi malam dengan bintang dan nyanyian. Tak ada kulit kacang yang berderik. Bayu masih berhembus. Lebih dingin dan menikam. Base camp apalagi, Satpam berjaga ekstra, tapi di tengah ketakutan-ketakutan atas hantu-hantu pada diri mereka sendiri. Misteri kematian masih jadi tanda tanya setiap penduduk desa ketika malam berkumpul dengan keluarga. Mulai dari yang muda hingga yang tua. Ada yang mengira-ngira, menerka-nerka. Ada pula yang spekulasi bercerita, tetapi bercerita diam-diam dengan kepada teman. Tetapi, kepastian siapa yang telah menebas leher Tuan Frans tiada yang tahu. Intelijen bekerja keras mengungkapkan kematian itu. Namun belum tampak ada bayangan yang jelas, siapa yang menebas batang leher Tuan Frans dan bra siapa yang tertinggal. Kosong. Makin kosong. Ketika pagi tiba, desa masih tetap melagukan kesahajaan. Ibu-ibu mulai ke sawah, anak-anak pergi sekolah berjalan kaki dan bersepeda mini. Matahari seperti akrab di desa itu, membakar embun-embun di dedaunan. Cicit burung yang bebas berterbangan dari tajuk kelapa ke tajuk kelapa yang sedang merekah menatap siang menjelang. Cerita Tuan Frans lama-lama terbenam dalam kepala warga desa. Teringat jika sudah melihat base camp saja. Tetapi, mereka seperti bangga atas kejadian itu. Desa mereka dikenal, masuk televisi dan koran.

*

Genap satu bulan, desa tak mati lagi. Ada hiburan dari pernikahan seorang pemudi desa pada malam minggu. Ia menikah dengan pemuda pendatang yang bekerja di perusahaan minyak di hilir desa itu. Dangdutan dengan pentas sederhana di depan rumah pengantin perempuan itu cukup meriah. Pemuda desa tetangga ikut diundang, dari kecamatan datang. Joget senggol pun membuai tawa hingga larut malam.Langit cerah, rembulan tersenyum. Pasangan muda-mudi telah melupakan peristiwa naas itu. Bagi mereka itu tak penting lagi dipertanyakan. Tetapi sebagian kecil dari mereka, di pekatnya malam, jauh dari acara hiburan ada yang masih bercerita. ”Jika teori pertama tidak berjalan, maka teori kedualah yang berlaku,” ujar lelaki entah yang mana. Ada belasan dan mungkin puluhan laki-laki dewasa dalam cerahnya malam.”Bakar saja jika tak memberi apa-apa untuk kita,” bisik laki-laki yang memikul dendam dengan suara berat. Bau alkohol menyeruak marah dari mulutnya. Yang lain hanya diam. Sebuah dendam masih tersimpan rapi di keping-keping hati mereka. Entah apa lagi yang bakal terjadi. *** Padang, 11 Januari 2005


Tanggapan

  1. Ass.Apo Kabar Sobat.

    Dari Perawang ke Buluh Cina
    Melihat ikan patin berenang ria
    Dari dalam batin hambe bertanya
    Apa kabar kawan nun jauh di sana


Tinggalkan komentar

Kategori